THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 14 November 2010

SeJaRAh

Makna Status Pahlawan
Dalam moment hari pahlawan tahun ini pemerintah menggangkat Bung Tomo dan Pak Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Apa makna pengangkatan Bung Tomo sebagai pahlawan bagi masyarakat? Saya rasa tidak terlalu besar. Sebagian masyarakat malah heran, bukannya Bung Tomo memang sudah pahlawan?
Untuk sebuah pertempuran dahsyat selama 21 hari yang memakan korban hingga 15 ribu jiwa yang sebagian besar adalah rakyat dan terjadi secara frontal dan bukan gerilya, menunjukan keberanian dan tekad rakyat Soerabaja untuk mempertahankan kemerdekaan, maka tokoh sentral dalam kejadian tersebut telah terbingkai dihati rakyat sebagai Pahlawan sejati.
Inggris terpaksa harus menerima kecaman keras dari dunia International. Kehilangan besar dan malu buat Inggris yang selama perang dunia kedua tak pernah kehilangan seorang jendralpun, kini harus kehilangan dua orang Jendralnya.
Sejak awal dan sampai kapanpun Bung Tomo telah berstatus pahlawan di hati rakyat.
Beda dengan Pak Natsir. Kecuali orang Sumatra Barat mungkin mengenal Pak Natsir hanya dari pelajaran sejarah yang tidak akurat. Nama Pak Natsir juga banyak dikenal dikalangan Ummat Islam karena peran beliau sebagai pendiri Dewan Dakwah Islamiyah dan tentu saja sebagai tokoh Masyumi.
Peran beliau dalam sejarah Indonesia sangat erat dengan pandangan ke-Islamannya. Kemudian menjadi landasan pandangan pada perjuangan Islam Indonesia kedepan. Beliau pernah dituduh melakukan pemberontakan dengan terlibat pada pergerakan PRRI.
Menurut Yusril Ihza Mahendra keterlibatan beliau sebenarnya sebagai protes pada Kabinet Djuanda yang dianggap inkonstitusional tapi stigmatisasi sejarah telah menghalangi masyarakat untuk mengetahui sosok Natsir yang sebenarnya.
Beberapa kalangan menilai Natsir ingin mendirikan negara Islam padahal komitmen Natsir pada Pancasila sudah terbukti sejak Mosi Integral yang menyatukan negara negara boneka buatan Belanda menjadi NKRI. Beliau bukan oportunis yang pada saat itu bisa saja membelot dan mendirikan negara sendiri. Mosi Integral merupakan capaian gemilang seorang politisi-negarawan yang akhirnya mengantarnya menjadi Perdana Menteri Indonesia.
Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Sumber: Wikipedia
Jaman itu Natsir telah berani kritis pada pemerintahan, sesuatu yang baru akan lumrah terjadi sekarang di era reformasi. Namun akibat yang mesti ditanggung juga tidak kecil, sebuah stigmatisasi sejarah yang membuat para siswa di sekolah mengenal PRRI sebagai gerakan pemberontakan yang mesti ditumpas dengan angkatan bersenjata.
Pak Natsir sangat prihatian melihat negara yang semakin bergerak ke arah kiri dan prihatin pula akan munculnya kediktatoran di bawah Presiden Soekarno. Keprihatinan itu makin bertambah ketika Presiden Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer di bawah pimpinan Ir. Djuanda. Beliau melihat semua ini sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi dan demokrasi. Sementara di daerah-daerah terus-menerus terjadi berbagai pergolakan yang berpotensi pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada awal Pebruari 1958, Pak Natsir memutuskan untuk bergabung dengan tokoh-tokoh di daerah yang menentang pemerintah pusat yang mereka yakini bersifat inkonstitusional itu. Dari pertemuan Sungai Dareh lahirlah ultimatum untuk membubarkan pemerintah Djuanda dan membentuk pemerintahan baru yang dipimpin Mohammad Hatta.
Kalau lima kali dua puluh empat jam ultimatum tidak dipenuhi, maka mereka akan menempuh jalan sendiri dan tidak mengakui keberadaan dan keabsahan pemerintah pusat. Inilah awal lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah, sebagai pemerintahan tandingan. Pak Natsir ingin agar persoalan ketidaksahan pemerintah pusat itu segera diakhiri, dan dengan begitu setiap saat mereka dengan sukarela akan mengakhiri keberadaan PRRI.
Sumber: Yusril Ihza Mahendra
PRRI adalah sebuah gerakan koreksi atas tidak seimbangnya pembangunan di Pusat dan di Daerah. Semangat dari gerakan koreksi ini menjadi inspirasi untuk mencari solusi atas ketimpangan pembangunan Pusat-Daerah yang kini dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Sebuah perjuangan yang visioner untuk NKRI.
Makna status Pahlawan Nasional bagi Pak Natsir adalah pelurusan atas sebuah stigma sejarah yang telah terjadi puluhan tahun. Kini Pak Natsir telah menempati tempatnya yang seharusnya.
Tidak demikian dengan tokoh yang lain yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional tahun lalu (2007). Beliau adalah Anak Agung Gde Agung yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya dalam hal diplomasi dari negara boneka Belanda menuju Republik Indonesia Serikat (RIS)
Beliau adalah salah satu Perdana Menteri negara boneka Negara Indonesia Timur (NIT) yang mendukung RIS dan masuk Irian Barat ke RI. Dari perannya inilah mungkin pemerintah mempertimbangkannya masuk sebagai Pahlawan Nasional.
Padahal apa yang terjadi sebelumya pada tahun 45-46 adalah sebuah pengkhianatan yang tak mungkin bisa dilupakan oleh rakyat Bali.
Betapa tidak, AA Gde Agung adalah seorang Raja dari Puri Gianyar Bali yang pada masa perjuangan secara tegas dan frontal berpihak kepada Belanda. Puri Gianyar memiliki sebuah kesatuan tempur lokal yang bernama PPN (Pemuda Pembela Negara).
PPN ini bersekutu dengan NICA dan bergerak secara aktif langsung di bawah komando AA Gde Agung menjadi pelopor serdadu NICA dalam menggempur gerakan para pejuang.
Setelah mendapat bantuan senjata lengkap dari NICA, PPN menggempur gerakan organisasi pemuda PRI (Pemuda Republik Indonesia). Dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern PPN berhasil mematahkan perlawanan PRI dan menangkap pimpinan PRI; Wayan Dipta, kemudian membunuhnya dengan cara yang keji.
Menurut kesaksian seorang pejuang Nyoman S Pendit yang ditulisnya dalam buku Bali Berjuang hal 145: PPN menangkap Wayan Dipta lalu mengkuliti kepalanya dan anggota badannya diiris-iris sebelum kemudian ditembak mati. Suatu perlakuan keji yang sangat menyakitkan hati para pejuang.
Pengkhianatan beliau tersebut menjadi faktor penting penolakan rakyat Bali atas diangkatnya AA Gde Agung sebagai Pahlawan Nasional. Makna status Pahlawan Nasional pada AA Gde Agung adalah penghinaan atas perjuangan I Gusti Ngurah Rai, rakyat Bali dan seluruh pejuang kemerdekaan pada umumnya.
Pelurusan sejarah akan selalu menemukan jalannya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar